Kediri, panjalu.online – Proses pengisian jabatan perangkat desa kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, dugaan praktik transaksional mencuat dalam pengisian jabatan Sekretaris Desa di Desa Ngino, Kecamatan Pelem, Kabupaten Kediri. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari sejumlah sumber, proses seleksi yang seharusnya menjunjung tinggi asas transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas justru dinodai dengan praktik yang mengarah pada penyalahgunaan wewenang.
Menurut keterangan beberapa pihak yang enggan disebutkan namanya, untuk menduduki jabatan Sekretaris Desa, peserta seleksi diduga harus "menyisihkan" dana dalam jumlah besar, bahkan mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Dana tersebut dikabarkan menjadi semacam "syarat tidak tertulis" agar peserta dapat diloloskan dan ditetapkan sebagai perangkat desa.
Salah satu narasumber menyebutkan bahwa praktik semacam ini bukan kali pertama terjadi di wilayah tersebut. “Bukan hal baru, sudah jadi semacam rahasia umum. Yang penting bukan nilai ujian, tapi siapa yang mampu membayar lebih banyak,” ujar sumber tersebut.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa, disebutkan bahwa pengisian perangkat desa harus dilakukan melalui penjaringan dan penyaringan yang objektif serta berdasarkan merit system. Pasal 5 ayat (2) secara tegas menyebutkan bahwa seleksi perangkat desa dilakukan secara transparan dan akuntabel oleh panitia yang dibentuk oleh kepala desa.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Pasal 50 ayat (1) menyebutkan bahwa perangkat desa diangkat oleh kepala desa dari hasil penjaringan dan penyaringan yang dilakukan oleh panitia yang dibentuk secara mandiri dan tidak memihak. Jika ada unsur manipulasi atau permainan dalam seleksi, maka hal tersebut sudah bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik (good governance).
Dari aspek hukum, jika terbukti adanya pemberian uang dengan tujuan untuk meloloskan seseorang menjadi Sekretaris Desa, maka perbuatan tersebut dapat masuk dalam kategori gratifikasi atau suap, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 5 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara agar melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, dapat diancam pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun serta denda paling sedikit Rp50.000.000.
Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari pihak pemerintah desa maupun Kecamatan Pelem mengenai dugaan transaksi dalam proses pengisian jabatan tersebut. Sementara itu, beberapa tokoh masyarakat menyatakan keprihatinannya atas fenomena ini.
“Jika memang benar ada uang yang mengalir demi posisi perangkat desa, maka ini menjadi preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan desa. Perangkat desa seharusnya menjadi pengayom masyarakat, bukan hasil dari proses yang tidak sehat,” ujar salah satu tokoh desa.
Masyarakat mendesak agar pihak Inspektorat Kabupaten Kediri dan Aparat Penegak Hukum segera turun tangan menyelidiki kebenaran informasi tersebut. Mereka juga meminta agar proses pengisian perangkat desa di masa mendatang diawasi secara ketat oleh lembaga independen agar tidak terjadi penyimpangan.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa jabatan publik, sekecil apapun, seharusnya tidak menjadi ajang jual beli kekuasaan. Integritas dan profesionalisme mutlak dibutuhkan untuk menciptakan pemerintahan desa yang bersih dan melayani.(RED.K)
Post a Comment