JOMBANG, panjalu.online –Praktik ilegal yang melibatkan mafia BBM subsidi dan oknum aparat penegak hukum kembali mencuat. Dugaan kerja sama gelap antara sindikat penimbunan BBM dengan aparat kepolisian menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat. Keberadaan oknum perwira di Polres Nganjuk yang seolah membiarkan aksi ini berlangsung dalam waktu yang lama semakin memperkuat dugaan adanya praktik kongkalikong.
Puluhan ton BBM subsidi jenis solar yang seharusnya menjadi hak masyarakat kecil justru diselewengkan untuk kepentingan pribadi para mafia. Mereka bekerja sama dengan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab demi keuntungan besar, mengorbankan hak rakyat demi memperkaya diri sendiri.
Gudang penyimpanan BBM subsidi yang diperdagangkan secara ilegal ke industri ditemukan di Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Kejahatan ini harus mendapatkan hukuman berat agar menjadi efek jera. Masyarakat memberikan apresiasi terhadap Polres Jombang yang berhasil mengungkap kasus ini, tetapi pertanyaan besar muncul: ke mana Polres Nganjuk selama ini? Mengapa aktivitas ilegal yang sudah berlangsung lama ini seolah dibiarkan?
“Dugaan adanya kesepakatan di bawah meja harus diusut tuntas oleh Kapolda Jawa Timur. Ini bukan sekadar kasus biasa, tetapi sindikat terorganisir yang merugikan negara dalam jumlah besar,” ujar pengamat kepolisian, Didi Sungkono, S.H., M.H., saat memberikan tanggapan kepada awak media.
Lebih lanjut, Didi Sungkono juga menyoroti gaya hidup mewah oknum aparat yang tidak sebanding dengan penghasilan mereka sebagai ASN golongan IV A. “Gaji perwira polisi jelas lebih dari Rp10 hingga 15 juta, tetapi gaya hidup mereka sangat hedonis. Menggunakan pakaian branded, mobil mewah seperti Rubicon dan Land Cruiser. Ini perlu ditelusuri lebih jauh dengan pembuktian hukum terbalik melalui laporan harta kekayaan (LHKPN),” tambahnya.
Dugaan bahwa BBM subsidi untuk kepolisian sendiri pun tidak dialokasikan sebagaimana mestinya semakin memperkuat adanya penyimpangan. “Kalau benar ada mobil dinas mogok di jalan tol karena kehabisan BBM, ini menandakan ada yang tidak beres di Polres Nganjuk,” ungkap Didi.
Selain itu, kasus-kasus kriminal seperti pembacokan secara acak yang belum terungkap semakin menambah keresahan masyarakat. Korban yang harus membayar biaya perawatan sendiri di rumah sakit semakin menunjukkan minimnya rasa aman di wilayah hukum Polres Nganjuk. Oleh karena itu, Kapolda Jawa Timur harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap institusi kepolisian di daerah tersebut.
Kasus ini bermula dari terbongkarnya jaringan mafia solar bersubsidi terbesar di wilayah hukum Polres Nganjuk. Berdasarkan pengembangan penyelidikan oleh Polres Jombang, akhirnya ditemukan gudang penyimpanan BBM subsidi milik seorang pengusaha bernama Ilyas di Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk.
Ilyas, sebagai pemilik gudang, juga memiliki truk pengangkut BBM solar subsidi yang diperjualbelikan ke industri. Keberhasilan Polres Jombang dalam membongkar praktik ilegal ini menunjukkan bahwa kejahatan ini sudah berlangsung secara sistematis dan terorganisir. Solar subsidi yang didapatkan dari berbagai SPBU di Kabupaten Nganjuk, seperti SPBU Baron dan SPBU Pace, dikumpulkan di gudang sebelum dijual dengan harga industri.
Barang bukti yang berhasil diamankan oleh Polres Jombang antara lain sembilan ton solar bersubsidi, satu tangki berisi delapan ton solar, serta tiga unit truk Hino yang digunakan untuk mengangkut solar subsidi dengan modus operandi estafet dan pemalsuan nomor polisi agar mendapatkan barcode.
BBM yang dikumpulkan dari berbagai SPBU kemudian dipindahkan ke tangki biru putih dari gudang PT Bima Sakti hingga mencapai pintu masuk tol Kertosono. Berdasarkan informasi yang dihimpun, BBM ini dijual ke industri pabrik dan pertambangan dengan harga yang jauh lebih tinggi dibanding harga subsidi. Hal ini jelas merugikan negara dan masyarakat kecil yang seharusnya mendapatkan manfaat dari subsidi BBM.
Selain itu, keterlibatan pengawas SPBU dan pemilik SPBU dalam praktik ini juga patut dipertanyakan. Jika terbukti ada kerja sama dalam penjualan BBM subsidi kepada mafia, maka mereka harus diproses secara hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pelaku dalam kasus penimbunan BBM bersubsidi ini dijerat dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Ancaman hukuman yang dapat dikenakan adalah pidana penjara paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp60 miliar. Masyarakat berharap agar kasus ini diusut hingga ke akar-akarnya dan tidak ada pihak yang dilindungi demi menegakkan keadilan.(Red.AL)
Post a Comment